The Culture of the Papuans in Transition (The Threat Posed by Modernization-Javanization and Discrimination)


Tulisan berikut ini merupakan ringkasan dari artikel Siegfried Zӧllner dalam buku  Economic, Social and Cultural Raights in West-Papua  (A Study on Social Reality and Political Perspectives). Dipubilikasikan oleh  Departement for Justice, Peace and the Integrity Creation of the United Evangelica Mission. Semoga bermanfaat bagi kasana pengetahuan Anda tentang perubahan-perubahan sosial di Papua.

A.     PEMBAHASAN
Artikel Siegfried Zӧllner yang dimuat dalam buku Economic, Social and Cultural Raights in West-Papua, dibagi dalam enam bagian dengan empat pembahasan pokok. Pada bagian pertama Zӧllner  mengawalinya dengan sebuah introduction yang menghantar pembaca mengenal secara singkat situasi social-politik, ekonomi dan budaya Papua terkini. Masih bersifat pengantar, pada bagian kedua penulis mengajak pembaca untuk melihat akar kebudayaan manusia Papua dan menjadikannya sebagai latar belakang informasi. Bagian ketiga Siegfried Zӧllner memberi judul; Change – Ruptures – Clashes. Topic ini membicarakan bagaimana perubahan-perubahan social, ekonomi dan kebudayaan menimbulkan bentrok-bentrok bahkan perpecahan. Pada bagian berikutnya Zӧllner mengangkat bagaimana peran gereja-gereja Kristen yang mendatangkan perubahan dan bagaimana gereja sendiri menanggapi perubahan-perubahan dalam kehidupan masyarakat Papua. Selanjutnya  Zӧllner membicarakan sebuah identitas baru bangsa Papua yang dinyatakan melalui karya-karya seni baik itu music, ukiran ataupun arsitektur.
Introduction
Pada tahun 2000, untuk pertama kalinya presiden Abdurrahman Wahid secara resmi membuka Kongres Rakyat Papua, yang di kenal dengan Kongres Papua II dan berlangsung dari tanggal 24 Mei-04 Juni, 2000, di Jayapura. Kongres ini membicarakan masa depan politik, social dan kebudayaan masyarakat Papua. Saat itu juga dipilih suatu badan independen sebagai representasi masyarakat Papua. Badan ini dikenal dengan Dewan Papua, terdiri dari 500 anggota dari berbagai daerah di Papua dengan 30 Dewan Adat. Keputusan dari kongres ini harus diterima sebagai suara masyarakat Papua yang otentik. Sayangnya kongres ini dianggap tidak memiliki dasar hukum oleh Megawati Soekarno Putri pengganti Presiden Gusdur yang mengundurkan diri. Pada masa pemerintahan Megawati, ketua Persedium Dewan Papua, Theys H. Eluay dibunuh oleh militer pada tanggal 10 November 2001. Beberapa anggota Dewan dimejahijaukan dan dijatuhi hukuman empat tahun penjara.
Saat Kongres Papua kedua terbentuk juga komisi-komisi. Komisi IV secara khusus memperhatikan kebudayaan orang Papua. Informasi dari komisi ini menunjuk bagaimana orang Papua menafsirkan budaya mereka. Bahwa budaya mereka saat ini berada dalam ancaman. Kekhawatiran itu berkaitan dengan banyaknya anak muda yang hampir tidak mengenal bahasa ibunya masing-masing. Hal ini menjadi ancaman yang akhirnya mengarah pada krisis indentitas diri. Maka setiap orang Papua harus berdiri di atas nilai-nilai budaya nenek moyangnya. Bahasa Melayu dengan dialek khusus Papau harus terus digunakan dalam komunikasi antara orang Papua (sebagai bahasa nasional rakyat Papua).
Pokok lain yang dibicarakan dalam Kongres ini juga menyoroti berbagai bidang kehidupan masyarakat Papua. Misalnya ditegasan bahwa hukum adat harus ditegakan di atas neger ini. Khususnya hukum yang berkaitan dengan hak akan kepemilikan tanah, hutan dan laut. Hukum adat ini diatur oleh perwakilan adat setiap daerah dengan mengacu pada hukum internasional (PBB). Pelarangan kepada orang asing mengeksploitasi alam untuk kepentingan mereka sendiri, seperti yang ditentukan dalam peraturan pemerintah Indonesia.
Kongkres ini juga mengkritisi fungsi dan keberadaan Lembaga Masyarakat Adat (LMA) yang dibuat oleh pemerintah Indonesia. Keberadaan LMA sama sekali tidak mencerminkan budaya masyarakat Papua. Bahkan keberpihakannya terhadap masyarakat asli pun dipertanyakan. Pemerintah mendapat legalitas melalui Lembaga ini dan menjadikannya alat untuk merampok hak-hak masyarakat Papua. Oleh karena itu Kongres secara tegas menolak keberadaan Lembaga ini.
Pada tahun 2001, Universitas Cendrawasih di Jayapura mengedarkan sebuah makalah dengan judulHak Dasar dan Kewajiban Dasar Rakyat Papua ".[1] Makalah ini mengadopsi kesimpulan dari Kongres Papua II dan berusaha membuat sebuah format yang disajikan kepada  otoritas pemerintah (Indonesia). Makalah ini adalah dasar hukum yang kemudian diteruskan pemerintahan pusat untuk menyusun Undang-Undang Otonomi Khusus. Salah satu bagian makalah itu menyatakan:

‘’All authorities in the region of Papua, and each one individually, must reflect our Papuan culture as a part of the Melanesian cultre. The customs and practices, the significance of the land for the people, the art, the local languages, the fables and myths of the Papuan people: we hold fast to all of these and take them as points of orientation for developing the future. We must make sure that our children do not forget our culture. Anyone living in the land of Papua must understand the culture and the history of papua. Our identity as papuans must be conveyed to our children." (p. 14)

I.     Latar Belakang Budaya Papua
Tiga wilayah yang berbeda
Pada bagian ini penulis menjelaskan tiga perbedaan tempat tinggal masyaraat Papua berdasarkan letak geografisnya. Perbedaan geografis ini mempengaruhi kenyataan budaya masyarakat Papua yang beraneka ragam. Tiga wilaya yang berbeda ini menentukan cara hidup yang berbeda pula. Penduduk asli Papua memiliki 353 kelompok bahasa, setiap kelompok memiliki tradisi, konsep keagamaan dan struktur social tersendiri dengan materi kebudyaan yang berbeda di setiap tempat. Penduduk pantai sebagian besar adalah nelayan dan pelaut.[2] Daerah pegunungan yang  padat penduduk dengan suhu yang sangat dingin, dihuni oleh penduduk petani; dan berawa dataran rendah antara pantai dan pegunungan yang sangat jarang penduduknya, dihuni oleh pemburu dan peramu seminomadic. Para penduduk gunung harus bekerja keras untuk mempertahankan hidup mereka dengan mengolah kebun petatas mereka, yang terletak di lereng-lereng gunung yang curam. Cara hidup ini telah meninggalkan cap mentalitas mereka: mereka yang ambisius, tekun dan rajin - berbeda dengan beberapa penghuni pantai. Orang-orang Komoro di Pantai Mimika, misalnya, cukup puas bahwa alam menawarkan mereka segala yang mereka butuhkan, gratis dan tidak memerlukan pekerjaan. Alat-alat tradisional Papua dan senjata yang terbuat dari kayu, tulang dan batu, mereka tidak menghasilkan tekstil atau keramik, juga tidak menempa besi. Kulit kayu, rumput dan tanaman menjalar sejenis labu adalah bahan yang digunakan untuk membuat pakaian - dan di selatan ada suku yang tidak mengenakan pakaian apapun.
Orang tidak harus mengabaikan keterampilan artistik yang dimiiki orang Papua, misalnya Noken  adalah sebuah karya seni dengan teknik dan pola warna yang rumit. Lukisan yang dihiasan pada rumah-rumah adat; aneka ukiran panah yang diukir dengan hati-hati. Selain itu ukiran yang dilakukan di Sentani, Biak, Yapen, timika dan Asmats merupakan keterampilan artistik yang terbaik di wilayah Pasifik secara keseluruhan. Tapi ini hanya budaya material dari Papua yang beragam, sebenarnya masih bisa dibedakan lagi dalam bidang ekspresi artistic misalnya konsep keagamaan mereka, mitos, lagu, dan nyanyian.

Nama “Papua”
Menurut Zӧllner, nama Papua bukan asli berasal dari daratan Papua. Ia menyebutkan bahwa nama Papua sebenarnya muncul karena kontak orang Papua dengan dunia luar. Misalnya yang dikatakan oleh Jorge de Meneses, seorang Portugis yang mencapai pantai utara pada tahun 1526. Ia mengatakan bahwa kata Papuwah yang ia gunakan sebenarnya telah digunakan oleh kesultanan Tidore untuk menunjukkan “Orang yang berambut keriting”. Selanjutnya pada tahun 1545, pelaut Spanyol Ortiz di Retes yang juga sampai pantai Utara memberikan nama Nova Guinea, karena garis pantai di sana mengingatkannya pada Guinea di Afrika.
Nama lrian mungkin berasal dari kata irjan (bahasa Biak). Di Biak, kata itu berarti "indah", "terang", atau, "yang timbul dari laut". Kata ini pertama kali digunakan oleh Frans Kasiepo pada konferensi Malino (diadakan 16-22 Juli 1946, di Makassar). Namun kemudian pada masa Orde Baru, nama ini kehilangan makna bahkan terdistorsi menjadi sebuah akronim yang kehilangan konteks sejarahnya  dan ditafsirkan sebagai Ikut RI Anti Nederlans.
Ketika Indonesia mengambil alih negeri ini pada tahun 1963, nama resmi menjadi Irian Barat-(barat lrian), pada tahun 1969, provinsi ini berganti nama lrian Jaya. Orang Indonesia melarang penggunaan terminologi "Papua" atau "Papua Barat" Orang Papua membenci nama lrian Jaya Bagi mereka itu adalah simbol penghinaan Indonesia terhadap budaya Papua. Dengan demikian, pada tahun 1998, mereka menuntut agar provinsi Irian Jaya diganti namanya menjadi Papua atau Papua Barat. Tapi tidak sampai 1 Januari,2002, ketika hukum yang mengatur Otonomi Khusus diberlakukan,  nama Papua, menjadi resmi sebagai sebuah provinsi.

Kehidupan sosial
Ketika dilahirkan seseorang Papua adalah milik sebuah klan. Pemberian nama keluarga atau “fam” biasanya mengikuti garis keturunan ayah (patrilineal). Ini tidak mengidentifikasikan bahwa peran perempuan menjadi kecil dalam budaya Papua. Justru sebaliknya, kaum perempuan juga memiliki peran yang besar. Bahkan dalam klan patrilineal, peran saudara ibu biasanya memiliki pengaruh yang besar, malah lebih besar dari peran ayah orang tersebut. Pasangan hidup harus diambil dari klan lain. Adalah sebuah dosa besar yang akan merusak tatanan kehidupan sosial jika terjadi pernikahan dalam satu klan. Sebuah pernikahan memiliki aturan main tersendiri. Jika ingin membangaun hubungan yang intens antara dua keluarga, maka pihak keluarga mempelai pria harus selalu membayar maskawin pada pihak keluarga wanita. Bagaimanapun juga selalu diimbangi dengan pelayanan dari pihak keluarga wanita. Dahulu fungsi maskawin ialah untuk  menstabilkan hubungan antara keluarga, menjaga kehormatan pengantin wanita dan rasa harga diri sendiri sebagai pria. Dalam masyarakat modern, fungsi positif dari maskawin  telah menjadi hilang.
Maskawin adalah salah satu bentuk kehidupan sosial dari masyarakat Papua. Masih ada bentuk hubungan sosial lainnya misalnya hubungan yang terbangun dengan cara tukar-menukar barang sebagai akibat langsung hubungan baik yang terjalin antar satu kampong atau klen tertentu dengan kampong atau klan yang lain. Hibungan baik itu tidak serta-merta datang tanpa ada konflik sebelumnya. Maka dibutuhkan sebuah upacara untuk mencapai perdamaian. Upacara seperti ini banyak dikenal dengan pesta perdamaian.
Setiap orang yang lahir telah terikat pada suatu jaringan kewajiban tertentu. Meraka yang telah mencapai keberhasilan dalam hidup memiliki kewajiban untuk menolong kaum kerabatnya. Mereka yang pindah ke kota, sampai batas tertentu, mampu menghindari tuntutan tersebut. Namun sebagian besar masih tetap berhubungan dengan desa-desa asal mereka. Para penduduk kota, biasanya memiliki lahan warisan di desa-desa asal mereka, atau setidaknya hak-hak tertentu yang tidak ingin mereka lepaskan. Sehingga dalam rangka melindungi hak-hak itu, bagaimanapun juga, mereka harus memenuhi kewajiban sosial mereka.

Kepemimpinan tradisional
Setiap suku-suku di Papua memiliki sistem kepemimpinan sendiri. Dr Johsz Mansoben membedakannya menjadi empat tipe umum: Pertama: jenis raja sebagai pemimpin, misalnya, di daerah Raja-Ampat, kedua: jenis dari "Big Man", misalnya di  Meybrat serta beberapa temat di kepala burung, suku Me dan Muyu; ketiga adalah jenis kepemimpinan kepala suku, yang kita temukan di Sentani, Nimboran, Tabla, Yaona, Yakari Skouw dan Waris, dan keempat adalah tipe campuran, ditemukan di Biak, Wandamen, Waropen, Kabupaten Yapen, Waya dan Teluk Cendrawasih. Perbedaan dari ketiga model kepemimpinan ini terletak pada bagaimana proses menjadi pemimpin itu sendiri, walaupun model pertama dan ketiga sedikit memiliki kesamaan. Model kepemimpinan Raja dan Ondoafi/Ondofolo, biasanya diperoleh berdasarkan keturunan.  Model kepemimpinan Big-Man diperoleh berdasarkan usaha pribadi untuk menjadi orang terpengaruh. Sedangkan model kepemimpina keempat merupakan campuran dari ketiga model sebelumnya. Kepemimpinan diperoleh dengan usaha pribadi geneerasi sebelumnya dan menjadi hak paten generasi berikutnya.
Walaupun beragam bentuk kepemimpinan di Papua namun, ciri-ciri umum tetap sama bahwa pemimpin bukanlah penguasa absolut: mereka harus mendapatkan reputasi dengan kinerja, mereka harus mendengarkan pendapat dalam komunitas sebelum membuat keputusan. Mereka tidak harus menyalahgunakan kekuasaan dan prestise mereka. Suku-suku di Papua adalah persekutuan yang demokratis-konsultatif, dan pemimpin setiap suku menyadari hal ini. Neles Tebay, menggunakan contoh dari budaya Me, dengan menekankan tiga unsur dari persekutuan suku yang menentukan hubungan antara pemimpin dan masyarakat: kesetaraan, partisipasi dan kemandirian. Ia mendasarkan ini pada martabat bawaan setiap orang, yang telah diberikan kepada mereka oleh Pencipta mereka.

Identitas orang Papua
Pada bagian ini penulis menggambarkan gerak identitas diri orang-orang Papua dari identitas kesukuan menuju suatu identitas bersama sebagai orang Papua. Awalnya identitas suku-suku di Papua adalah identitas kelompok kecil dalam sebuah desa. Orang-orang Yali misalnya, memberikan identitas diri mereka berdasarkan nama kampungnya. Di wilayah pantai identitas diri biasanya diidentifikaskan dengan bahasa, keluarga, budaya, agama dan cara hidup yang sama. Selain itu di daerah pegunungan terdapat suatu perasaan identitas bersama dalam suatu wilayah yang lebih besar. Masyarakat lembah Baliem misalanya, menyadari bahwa asal usul mereka  dari satu sumber yang sama yakni di sebuah gua di gunung Ferawa dekat Seinma/Kurima. Orang-orang di daerah pegunungan barat menyebut diri mereka sebagai manusia Me.  Identitas diri ini perlahan mulai mengalami perubahan ketika masyarakat mulai mengalami kontak dengan dunia luar. Kesadaran akan keunikan identitas diri mulai muncul. meskipun identitas kelompok-kelompok kecil tetap terjaga, masyarakat mulai mengenali ciri-ciri umum dari sebuah budaya Papua.

Konsep tanah dan hak ulayat
Semua orang Papua memiliki hubungan erat dengan tanah yang mereka hidup. Orang-orang suku Amungme menyebut tanah "ibu kami". Orang-orang Moi memiliki konsep yang sangat mirip. Seorang muda Moi mengatakan, "identitas kami adalah tanah kami. Jika kami tidak memiliki tanah di daerah sendiri itu berarti kami bukan orang Moi. Selain itu di daerah pegunungan ada yang menyebut gunung sebagai anggota tubuh ibu yang mengalirkan kehidupan untuk semua orang. Sayangnya makna ini mulai hilang karena pegaruh modernitas, khusunya datangnya gaya hidup baru yang melihat tanah sebagai objek untuk memperkaya diri. Sebagai contoh orang Amungme.
Tidak ada tanah yang tidak bertuan. Semua tanah ada pemiliknya. Kepemilikan itu berlanjut secara turun temurun dan diwariskan. Orang Yali biasanya mewariskan tanah bukan saja kepada anak laki-laki tetapi juga kepada anak perempuan mereka. Namun ada juga suku-suku yang tidak memiliki tanah, mereka tidak memikli hak untuk memutuskan sesuatu yang berhubungan dengan tanah. Selain tanah untuk bertanian, ada juga hutan yang menjadi hak msyarakat. Kawasan ini ada klen yang memiliki. Ada yang dibiarkan untuk genrasi berikut ada juga yang dipakai untuk perluasan kebun dan material untuk pembuatan rumah. Hutan juga digunakan untuk berburu sehingga dibiarkan tetap ada. Batas wilayah kepemilikan sering ditandai dengan sungai, bukit atau juga pohon, atau juga batu yang disusun. Dan biasanya semua orang menghargai batas-batas itu.
Konsep ini ternyata bertentangngn dengan konsep kepemilikan pemerintah colonial dan Indonesia. Justru inlah yang menjadi dasar fundamental konflik kempemilikan tanah ulayat. Karena tidak hanya mempengaruhi hak kepemilikan orang papua tetpi juga hal yang lebih mendasar dalam kehidupan orang Papua terlebih hak untuk  hidup.

Agama tradisional
Ada perbedaan bentuk dan secara spesifik ada beberapa hal yang mendasar dari keyakinan atau kepercayaan. Keperyaan adalah cara orang Papua berkomunikasi dengan pencipta dan nenek moyang mereka. Dimana nenek moyang dapat dipahami sebagai bagian dari alam semesta. Dengan kata-kata khusus mereka berkomunikasi dengan leluhur.  Hubungan dengan leluhur dan pencipta juga di tandai dengan mitos-mitos yang tersebar di berbagai suku. Misalnya mitos tentang asal usul dunia, manusia ataupun asal-usul suatu upacara tertentu.
Keyakinan ini ditunjukkan dengan upacara-upacara tertentu. Misalnya upacara inisiasi, kesuburan tanah, babi, komunitas,  untuk orang mati, membangun rumah, terhidar dari malapetaka. Element penting yang muncul disini adalah doa-doa khusus. Contohnya orang yali dalam upacara pengobatan dengan rumusan yang dinyanyikan.  Ritual ditampilakan untuk kebaikan komunitas, keamanan komunitas dari roh jahat yang bisa mendatangkan penyakit dan semua hal yang bisa merusak kebun harus diusir dengan ritual.

Tradisi lisan dan karya seni
Budaya Papua kaya akan tradisi lisan: ada banyak mitos, fiksi legenda dan lagu-lagu. Terdapat dua kategori tradisi lisan pertama yang berhubungan dengan  dunia keagamaan dan kedua berhubungan dengan dunia secular. Saat ini tradisi lisan berada dalam bahaya kepunahan. Hanya secara kebetulan, beberapa misionaris dan antropolog telah menuliskan bagian dari tradisi lisan. Tidak banyak sarjana Indonesia yang menunjukkan minat mereka pada budaya Papua. Sebagian besar lagu-lagu, merupakan bagian dari tradisi lisan; tarian dengan lagu, nyanyian penyembuhan, dll. Lagu-lagu juga mengungkapkan cinta, kerinduan dan kesedihan. Awalnya, ukiran dan lukisan dilakukan sebagai bentuk ekspresi keagamaan[3]. Hampir semua suku Papua ada anyaman atau rajutan noken, gelang, kalung, yang semuanya menunjukkan keterampilan tinggi dari orang yang telah membuatnya. Dengan melihat keterampilan ini kita  tidak dapat berbicara tentang budaya "primitif". Orang Papua memanfaatkan secara optimal kemungkinan teknis yang mereka miliki. Mereka mampu mencapai prestasi yang mengagumkan walua hidup di daerah-daerah yang sulit sehinga patut mendapat penghormatan dan pengakuan. Namun Indonesia, sama sekali tidak menunjukkan sikap ini. Tidak ada suatu penghargaan dan pengakuan yang ditunjukkan pada budaya orang Papua, malah sebaliknya.

II.   Perubahan – Perpecahan  
Pandangan Indonesia atas budaya Papua
Budaya Papua dianggap sebagai budaya jaman batu. Diskriminasi secara tidak langsung. Secara psikologi rasa superior dari orang inndonesia. Hal ini yang menghambat komunikasi[4]. Orang Papua secara tidak langsung perlahan menyadari adanya superioritas atas budaya mereka. Seiring dengan kontak dengan orang pendatang. Awalnya tidak terlalu terasa perasaan itu. Namun dalam beberapa tahun kemudian atau beberapa decade. Akhirnya terbentuklah perasaan inferior yang lebih rendah dengan budaya orang pendatang dan ada kenginan untuk sama dengan budaya itu.
 Persoalannya sejak datangnya orang Indonesia di Papua terjadi gesekan-gesekan budaya. Budaya orang Papua selalu dianganggap budayanya sebagai budaya yang terbelakang oleh orang indonesi. Sangat susah menemukan artikel yang ditulis oleh orang Indonesia. Hanya tiga orang Indonesia saja yang peduli dengan budaya Papua. Mansoben salah sorang antropolog menyayangkan situasi ini. Dalam artikelnya ia menulis “mereka tidak mengerti kami”. Sehingga yang terjadi adalah entah memang didesain atau secara tidak sadar muncul pandangan-pandangn negative. Sebuah album yang mengilustrasikan budaya papua misalnya, ilustrasi orang Asmats oleh Dea Sudarman, diterbitkan pada tahun 1984 yang mengekpos indahnya alam papua namun disaat yang sama memunculkan pencitraan budaya Papua yang primitif di kalangan masyarakat umum. Pakaian adat orang Papua juga dieksploitasi secara komersial, karena hal itu merupakan daya tarik bagi wisatawan. Selain itu orang Indonesia juga tidak memahami budaya Papua secara komprehensif[5]. Sehingga muncul pemikiran dari orang Papua bahwa orang Indonesia secara sistemik bertujuan menghancurkan budaya Papua.
Identitas baru orang Papua
Politik juga bereran dalam pengembangan dan penguatan identitas orang Oapua. Setelah perang dunia ke-II dan pada masa kekuasaan Jepang dan pada akhir perang, tahun1960 terbuka kemungkinan untuk merdeka sebelum akhirnya diambil alih oleh Indonesia. Orang Papua mulai menyadari akan identitas mereka, bahwa mereka tidak mau dianggap remeh oleh orang lain (orang Maluku maupun pendatang lain).
Papua secara administrasi diambil alih oleh Indonesia tanggal 1 Mei 1963 dan secara besar-besaran memasukan orang Indonesia yang kemudian mulai memunculkan adanya perbedaan ras dan mulai timbul pertanyaan mengenai hal tersebut. Orang papua dikenal dengan kulit hitam dan rambut keritingnya[6]. Orang Papua menyadari adanya perbedaan standar kecantikan dimana orang Asia dikatakan cantik apabila berkulit putih dan reaksi yang timbul adalah bahwa Orang Papua jelek. Orang Papua akhirnya beranggapan bahwa mereka adalah orang kelas dua. Anggapan ini lebih jauh akhirnya menambah kebencian mereka pada orang Indonesia dan melahirkan suatu kesadaran identitas mereka sebagai orang Papua bukan orang Indonesia.

Keluarga modern – peran baru
Di tahun 1980 terjadi perubahan besar pada generasi muda dimana banyak pemuda Papua yang mendapatkan kesempatan untuk belajar di bangku sekolah yang lebih modern. Semakin banyak pelajar di kota-kota seperti Jayapura, Manokwari bahkan Wamena. Ada pula beberapa pelajar yang belajar di luar Papua. hal ini semakin meningkatkan kepercayaan diri orang Papua akan tetapi berdampak pada perubahan perlaku mereka terhadap budaya mereka karena mereka tdak lagi mengindahkannya. Karena perubahan ini, anggota keluarga mulai mengeluh tentang hal buruk yang dibawa ke kampong halamannya. Wanita mendapatkan kesempatan untuk menempuh pendidikan tinggi juga. Alhasil, semakin banyak orang Papua yang menikah berbeda suku bahkan jumlah orang papua yang menikah dengan orang pendatang pun meningkat. Dampak atau konsekuensi dari adanya perkawinan campur adalah menurunnya makna identitas Orang Papua antara lain karena bahasa yang digunakan lebih banyak bahasa Indonesia atau bahasa dimana mereka berada.
Permasalahan muncul pada anak-anak yang salah sau orang tuanya bukan Papua dan diperburuk dengan adanya isu ethnocide. Hal ini berpotensi untuk menimbulkan konflik dan harus segera diselesaikan. Selanutnya muncull definisi tentang Orang Papua yakni semua orang yang salah satu orang tuanya adalah orang Papua termask mereka yang dilahirkan di Papua.

Excursus: Diskusi mengenai genosida
Pada tanggal 10 Desember 2003, yakni pada Hari Hak Asasi Manusia, fakultas hukum dari universitas Yale School di New Haven, Connecticut, Amerika Serikat, menyampaikan sebuah studi yang menyelidiki apakah konsep genosida dapat diterapkan pada pelanggaran hak asasi manusia yang telah terjadi selama masa 40 tahun di Papua. Penelitian ini sampai pada kesimpulan bahwa materi sejarah yang tersedia saat ini "sangat menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia telah melakukan perbuatan terlarang dengan maksud untuk menghancurkan orang Papua
Penelitian itu terdiri atas dua bagian: bagian pertama menampilkan kronologis pelanggaran HAM di Papua dari tahun 1963-sekarng. Bagian kedua menyelidiki apakah aturan hukum tentang genosida dapat diterapkan pada situasi di Papua Barat. Pada beberapa hal, studi ini tiba pada kesimpulan bahwa Indonesia telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan di Papua: "tindakan semacam itu secara keseluruhan, tampaknya diperhitungkan akan membawa kehancuran bagi orang-orang Papua Barat.

Aspek ekonomi
Orang Papua dibesarkan dalam lingkungan atau dalam lingkungan kekerabatan dengan banyak kewajiban. Kenyataan ini berdampak pada sulitnya orang Papua bersaing dalam dunia ekonomi dengan orang Indonesia. Pemerintah Indonesia melihat kenyataan ini sebagai suatu kelemahan orang Papua, sehingga perlu mendatangkan orang luar dengan tujuan pembangunan ekonomi. Akan tetapi bukan berarti orang Papua tidak mempu berdagang misalanya: orang-orang dari suku Me, Maybrat dan Muyu.  Dalam beberapa penelitian menyebut orang-orang dari Me, Maybrat dan Muyu sebagai masyarakat "pemodal tradisional". Mereka telah lama berkenalan dengan konsep-konsep modern seperti, memberikan kredit, dan pengisian bunga.

Konflik mengenai tanah
Mula-mula dalam budaya orang Papua, tanah tidak dapat benar-benar dijual. Pada pertengahan abad XX  masyarakat Papua memberikan tanahnya untuk digunakan membangun gereja, sekolah termasuk rumah-rumah untuk pendeta dan guru-guru. Dikemudian hari harga tanah semakin tinggi akibatya pimpinan adat mulai menjual tanah tanpa sepengetahuan warga lain sehingga muncul konflik internal. Pada tahun 1963 pemerintah Indonesia membawa konsep baru. Yakni semua tanah adalah milik Negara. Hukum ini bertolak belakang dengan konsep kepemilikan tanah bagi orang Papua. Sehingga muncul banyak konflik dalamnya. Misalnya pembukaan lahan transmigrasi yang di buat tanpa konpnsasi. Tahun 1990 di beberapa daerah terbentuk lembaga masayarakat adat yang memiliki hak untuk berbicara serta membela hak masyarakat adat terhadap perlakuan pemerintah. Walaupun hanya sampai pada batas tertentu.
Di era 1980-an, ketika Presiden Soeharto mendorong Indonesia ke arah "pembangunan" studi dibuat mengenai hambatan untuk pembangunan di berbagai propinsi. Untuk Papua, pertanyaan mengenai kepemilikan tanah dilihat sebagai hambatan yang signifikan. Informan berulang kali melaporkan bahwa setiap kali pemilik tanah protes, mereka disalahkan dengan pernyataan: "Anda menghambat pembangunan Anda menentang pembangunan. Dengan demikian bertentangan dengan negara!" Pada masa itu, setiap ketidakadilan dan tindakan kekerasan dapat dibenarkan dengan kata-kata: "demi pembangunan"

III.  Peran Gereja Kristen
Pada bagian awal penjelasan ini, penulis memberikan gambaran singkat tentang sejarah Kekristenan di Papua. Diawali oleh Johann Gottlieb Geissler dan Carl Ottow, yang mengijakkan kaki di pulau Mansinam 05 Februari 1855 memulai pengkabaran Injil di wilayah pantai Utara. Selanjutnya pada tahun 1894 Pater Cornelis le Cocq d'Armandville SJ., memulai karya misi di wilayah pantai Selatan. Sedang di daerah pegunungan karya misi baru dimulai pada tahun 1936 di wilayah Pania dan berkembang ke daerah-daerah lain.
Selanjutnya penulis mengungkapkan beberapa dampak dari karya misi di Papua. Dikatakan bahwa ketika suku-suku di Papua menerima Kabar Gembira, mereka saling berdamai. Mereka mulai terbuka terhadap kemungkinan pergaulan yang lebih luas. Ketika sekolah-sekolah dibuka di seluruh daerah, terjadi pergeseran nilai-nilai budaya setempat.
Lebih jauh pada bagian akhir penulis mejelaskan bagaimana peran Gereja dalam kehidupan masyarakat Papua yakni bidang sosial-politik secara khusus pembelaan dalam kasus pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah Indonesia. Gereja menyadari tugasnya dalam menyarakan suara kenabian melawan segala bentuk kekerasan dan ketidakadilan[7].
IV. Identitas Baru Melalui Ekspresi Seni (Musik – Ukiran)
Bagian ini penulis menggambarkan bagaimana ekspresi kesenian menjadi identitas baru orang Papua. Dikatakan bahwa awal tahun 1980 sejumlah pemuda Papua menyelesaikan pendidikan tingginya dan mulai memperhatikan budaya mereka, kebanyakan dari mereka terinspirasi oleh minat Arnold Clemens Ap seorang antropolog[8]. Arnold Ap dianggap sebagai tokoh pembaharu identitas orang Papua. Setelah kematiannya mulai bermunculan grup-grup music dan tari seperti grup Mayowa di Biak dan grup music Black Padise juga mengikuti jejak Arnold Ap. Mereka menyebut diri sebagai titisan dari grup Mambesak. Tahun 2000, grup ini melakukan tur ke Australia dan meluncurkan CD.
Dalam budaya Papua, seni pahat dan lukis berkaitan erat dengan kerohanian mereka. Namun dalam perkembangannya setelah adanya kontak-kontak dengan dunia luar, keterampilan ini tidak hanya bermakna kerohanian tetapi memiliki nilai komersial. Dengan adanya pasar serta minat para wisatawan, menyadarkan orang Papua akan adanya kesempatan. Orang dapat membeli kerajinan tangan di toko-toko souvenir. Di jayapura terdapat kurang lebih 50 toko souvenir. Ada dampak negative dan positif dari komersialisasi keahlian orang Papua.

Kesimpulan
Pada bagian kesimpulan, penulis memberikan pendapatnya tetang topic yang dibahasnya. Ia mengatakan bahwa tidak ada budaya di dunia ini yang tidak memiliki kontak dengan budaya lain termasuk budaya Papua. Sejak pertama kali budaya Papua bersentuhan dengan budaya modern, saat itu banyak hal baru dan pengaruh dari dunia luar. Pertemuan dengan budaya baru ini awalnya menimbulkan pertententangan. Namun akhirnya pengaruh dunia luar membawa masyarakat untuk menemukan jati dirinya. Pertentangan menimbulkan suatu konsep baru tentang identitas diri. Penulis juga mengatakan bahwa perubahan budaya Papua tidak serta merta terjadi karena kehadiran agen-agen kemanusiaan seperti misionaris, pemerintah Belanda ataupun pemerintah Indonesia. Baginya perkembangan teknik juga turut mempengaruhi perubahan nilai-nilai kebudayaan orang Papua.
Diakhir kesimpulannya, penulis menambahkan bahwa Papua akan memiliki masa depan jika hak-hak dasar mereka diperhatikan dan dihormati. Merujuk pada konvensi PBB dalam menghormati hak-hak cultural setiap bangsa, penulis mengajukan empat hak dasar yang harus diperhatikan pemerintah Indonesia jika ingin menyelesaikan masalah Papua. keempat hak dasar itu antara lain: Hak kebebasan intelektual; Hak persamaan derajat dan kesamaan di hadapan hukum; Hak atas tanah dan Hak untuk dihormati, diakui dan dilindungi.

B.      PENILAIAN
Penulisan menggunakan metode deduktif untuk menguraikan setiap pokok pembahasan dalam artikelnya. Berbagai sumber (baik studi lapangan maupun studi pustaka) yang digunakan penulis membuat artikel ini memiliki kualitas yang sangat baik. Artikel ini cukup membelalkkan mata setiap pembaca karena informasi yang ia berikan. Menarik untuk kami katakana bahwa penulis adalah benar-benar seorang penulis independen. Sehingga dalam menulis artikelnya ia tidak terjebak dalam kesalahan interpretasi kritis terhadap setiap persoalan yang terjadi di Papua. Meskipun demikian ada catatan kritis untuk artikel ini. Pantaslah kami mengakui bahwa penulis banyak mengangkat persoalan dengan data yang cukup terpercaya, analisa atas persoalan yang diangkatnya juga cukup tajam namun ia sendri tidak memberikan suatu solusi yang memadai. Solusi yang diberikan pada kesimpulan artikel ini bagi kami tidak jelas bentuknya. Artinya sebagai suatu solusi atas persoalan krisis kebudayaan seperti yang sedang terjadi di Papua, haruslah memiliki unsur keterdesakan pada dirinya sendiri.  Kami tidak melihat unsur ini dalam solusi yang diberikan. Kami mengusulkan agar sulosi yang diberikan penulis dalam artikel ini mendapat penekanan kusus dalam satu bagian dan harus memiliki bentuk yang jelas, misalnya jalan dialog yang dikapanyekan oleh Jaringan Damai Papua sambil tetap memperhatikan komparatif dan relativitas di dalamnya. Artikel ini baik dibaca oleh setiap orang yang memiliki keprihatinan terhadap persoalan Papua. Para imam dan calon imam yang berkarya dan akan berkarya di tanah Papua. Artikel ini juga bisa menjadi refrensi dalam menelaah masalah-masalah di Papua.


[1] Makalah itu juga mengungkapkan aspek yang paling penting dari budaya Papua. Mereka mengungkapkan fakta bahwa identitas orang Papua memiliki dasar dalam budaya. Mereka juga mengungkapkan keprihatinan orang-orang Papua tentang kemungkinan apakah budaya orang Papua bisa  bertahan hidup, serta kekhawatiran mereka tentang kemungkinan keterasingan dari budaya luar karena pengaruh bahasa indonesia. Masyarakat Papua sangat terganggu karena budaya mereka dianggap lebih rendah dan terbelakang dan dengan demikian menjadi halangan untuk pengembangan dan kemajuan. Mereka percaya bahwa Indonesia ingin menghancurkan orang Papua dan bahwa dalam satu atau dua generasi tidak akan ada banyak lagi orang Papua. Mereka takut ethnocide itu, atau bahkan genosida, mungkin akan terjadi.
[2] Penduduk Teluk Cendrawasih di utara terkenal sebagai pelaut pemberani, terutama penduduk Biak, dengan konstruksi perahu yang kuat dan besar, sebenarnya mereka telah memiliki kontak perdagangan regular dengan Maluku utara jauh sebelum orang Eropa pertama kali muncul di daerah tersebut.
[3] Seni ukiran ini terutama sangat berkembang di antara masyarakat Asmat dan Kamoro di pantai selatan. Tapi juga di pantai utara, terutama di sekitar Danau Sentani, di Biak dan Serui. Di dataran tinggi, karya artistik sangat sedikit atau dilakukan. Orang-orang Yali, mencat rumah-rumah adat pada kedua bagian dalam dan luar, dan barang sakral tertentu juga dihiasi
[4] Orang Papua sendiri, cukup menyadari keunggulan satu atas yang lainnya: keunggulan kuat atas yang lemah, orang kaya menguasai orang miskin. Para kembu misalnya adalah kata dalam bahasa Dani menunjukkan dibenci, yang tidak penting, orang miskin.
[5] Sebagai contoh pada tanggal 17 Agustus 1971 Gubernur Acub Zainal meluncurkan “Operasi Koteka”. Mereka mendatangkan banyak pakaian tekstil ke wamena. Orang Dani dilarang memasuki Wamena menggunakan koteka. Pemerintah membagikan pakaian akan tetapi masyarakat Dani belum mengerti cara menggunakan handuk, sabun serta cara merawatnya. Alhasil, banyak yang menderita penyakit kulit. Meskipun Acub Zainal punya perhatian khusus namun kampanye tersebut menunjukan kurangnya pengetahuan. Selama 40 tahun dibawah Pemerintah Indonesia, orang Papua menyadari bahwa Indonesia masih belum menghargai martabat bahkan budaya Papua.
[6] Banyak cap negatif yang meremehkan keberadaan orang Papua, misalnya dalam sebuah artikel koran di Irian Jaya Pos 14-20 Juni, 1999, dengan judul "Pikiran di belakang Penyanderaan", penulis (seorang lndonesia) menulis tentang orang Papua dengan sepintas lalu; Seorang teman saya, yang juga seorang jurnalis dari Jakarta dan ahli pada masalah politik dan militer, pernah berkata: "Apakah lrian Jaya benar-benar berbahaya bagi lndolesia? Hanya dua juta orang tinggal di sana, dan mereka tersebar di mana-mana. Pengetahuan dan standar teknologi mereka cukup terbelakang, mereka dibagi ke dalam berbagai suku. Jika mereka memutuskan untuk memberontak terhadap Jawa, yang harus kita lakukan adalah mengirim ratusan juta orang dari Jawa ke sana dan mereka kencing sekali. Maka semua orang-orang Papua akan tenggelam. Kita tidak perlu mengambil senapan atau membuang peluru!" Penulis mengutip kata-kata diskriminasi ini tanpa komentar. Ini menjadi indikasi bahwa dia setuju dengan temannya. Artikelnya sangat melukai banyak orang Papua yang membacanya.
[7] Berulang kali Gereja (GKI dan Katolik) mengusahakan dialog dengan pemerintah dan petinggi militer dalam menanggapi kasus-kasus yang terjadi. Dijelaskan bahwa dalam menanggapi masalah-masalah sosial-politik, GKI sulit untuk menunjukan sikap kritis karena dua alasan pertama banyak dari anggotanya (pendatang lndonesia) yang dalam beberapa kasus, memegang posisi tinggi dalam pemerintah, Kedua, adalah beberapa pendeta memiliki jabatan di parlemen dan di pemerintahan. Untuk alasan ini, GKI dibatasi dan tergantung. Gereja Katolik jauh lebih bebas dalam hal ini. Dimulai pada tahun 1990, gereja-gereja mulai menyadari dengan lebih jelas bahwa itu adalah tugas mereka untuk berbicara menentang pelanggaran hak asasi manusia. Mereka menyusun beberapa laporan tentang situasi sosial-politik: laporan GKI diterbitkan pada tahun 1992 dengan judul (Untuk Keadilan dan Perdamaian), tetapi hanya didistribusikan di antara sekelompok kecil mitra gereja dan tetap tidak diketahui dunia internasional. Laporan Gereja Katolik pada tahun 1995 mendokumentasikan pelanggaran hak asasi manusia di Timika dan diambil oleh Amnesty International dan dikenal secara internasional. Pada Januari, 2004, "dewan gereja-gereja papua" didirikan. Sejak itu, gereja-gereja sering berbicara bersama-sama atau menulis surat yang ditandatangani oleh mereka semua ketika ingin menunjukkan masalah kepada pemerintah atau kepada masyarakat umum. Perwakilan agama-agama lain, seperti Muslim, Hindu dan Buddha, sering dimasukkan dalam proses ini. Ketika perdamaian di Papua atau penghormatan terhadap hak asasi manusia dipertaruhkan, semua agama berbicara dalam satu suara.
[8] Arnold Ap bekerja di Museun UNCEN. Pada tanggal 15 Agustus 1978 ia bersama beberapa temannya membentuk grup Mambesak. Sebuah grup music, tari dan teater yang kemudian menjadi sangat terkenal. Arnold Ap mempelajari element budaya dari seluruh daerah di Papua. Dia mengoleksi lagu-lagu dari semua suku di Papua dan memproduksinya dalam bentuk kaset. Setiap sabtu anak-anak muda dan pelajar diajarkan untuk menghargai budayanya lewat lagu-lagu dan tarian di depan museum. Melalui cara ini ia mulai meyebar luaskan kesadaran akan budaya Papua dan music adalah medianya. Salah satu bagian syair lagu yang membuatnya diawasi secara politik berbunyi demikian: “satu harapan saya dan saya akan memperjuangkannya ialah kebebasan”. Diawal tahun 1980an ia sempat beberapa kali diinterogasi dan dihubungkan dengan gerakan OPM. . Pada tanggal 30 November 1983 dia ditangkap bersama beberapa rekan-rekannya. Ia akhirnya ditembak mati oleh KOPASUS pada tanggal 26 April 1984






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apakah IPTEK itu selalu sejalan dengan iman kita.?

F I L S A F A T T E K N O L O G