Adakah Perlindungan Bagi Masyarakat Asli ARSO?


Pindahnya Pasar Arso Kota Ke Arso II Adalah Gambaran Kebijakan Pemerintah Daerah Keerom Yang Tidak Berpihak Pada Masyarakat Asli

       Baru-baru ini Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Keerom melalui Kepala Dinas Perindustrian dan Koperasi (Disperindagkop), Hulman Sitinjak, SE,MM mengungkapkan bahwa los pasar di Arso kota saat ini sudah tidak di tempati, sejumlah pedagang diharapkan menempati pasar yang telah dibuat Pemkab Keerom di Arso 2. Menurutnya, jam buka pasar Arso II lebih panjang dan lebih lengkap. Oleh karena itu, pihaknya mendorog agar semua pedagang di Arso Kota bisa pindah ke Arso II. Sementara untuk pasar yang akan dibangun di Distrik Arso Timur dipusatkan di Ujung Karang dan Distrik Skamto dipusatkan di Arso Swakarsa (Lihat berita selengkapnya dalam Harian Cenderawasih Pos, 06 Des 2012, hal. 14).

         Kebijajakan di atas merupakan gambaran umum kebijakan Pemkab Keerom yang tidak berpihak pada masyarakat asli. Dampak dari kebijakan ini ialah menurunnya semangat masyarakat asli untuk memasarkan hasil kebun, karena lokasi pasar jauh dari lingkungan mereka. Dampak lainnya ialah masyarakat asli akan merasa enggan untuk berdagang di pasar yang telah disediakan, sebab akan muncul kesan bahwa pasar yang dibangun di tengah masyarakat pendatang adalah pasar milik pendatang. Rasa kepemilikan pasar sebagai milik bersama akan hilang. Dapat dipastikan bahwa keterlibatan masyarakat asli khususnya masyarakat asli Arso Kota dalam pasar akan hilang. Jika dibandingkan keterlibatan antara masyarakat asli dan pendatang yang berdangang di los pasar Arso Kota sebelumnya saja, keterlibatan masyarakat asli sangat sedikit, apalagi kalau pasar di pindahkan ke Arso II, sudah dapat dipastikan bahwa tidak akan ada masyarakat asli Arso Kota yang berdagang di sana. Jika terpaksa berjualan di sana maka,  mereka harus bersaing dengan pedagang-pedagang lain yang lebih modern.

       System sentralisasi kekuatan ekonomi sangat nampak dalam kebijakan di atas. Pusat-pusat perekonomian ditempatkan di lokasi-lokasi transmigrasi yang notabenenya adalah penduduk non Papua. Sehingga dengan sendirinya pusat-pusat perekonomian itu akan dikuasai oleh masyarakat non Papua. Hal ini jelas bertolak belakang dengan semangat otonomi khusus yang memperioritaskan masyarakat asli.  System sentralisasi kekuata ekonomi ini jelas-jelas akan berdampak pada marginalisasi terhadap masyarakat asli. Jika tidak ada perlindungan terhadap masyarakat asli maka, bukan hal yang mustahil bahwa 20 tahun ke depan masyarakat asli Arso akan menjadi orang asing yang berdiri di atas tanahnya sendiri. Sangat disayangkan.

          Ironisnya Lembaga Legislatif yang diharapkan mampu meyuarakan kepentingan masyarakat asli, malah berpangku tangan dan sibuk dengan kepentingan kelompoknya masing-masing. Sejauh ini, tidak ada satu pun Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang dihasilkan lembaga ini untuk memproteksi masyarakat asli. Misalnya Perdasus Perlindungan Masyarakat Asli.

             Jika ingin membangun Keerom secara utuh dan manusiawi, maka pemerintah dan lembaga legislative serta seluruh elemen yang ada perlu memperhatikan keseibangan di dalamnya. Pembangunan infrasruktur, sarana dan prasarana memang penting tetapi tidak mengabaikan pembangunan sumber daya manusianya. Kebijakan yang diambil juga perlu mempertimbangkan keterlibatan masyarakat asli. Selain itu sangat mendesak untuk merencanakan Perdasus tentang perlindungan masyarakat asli, yang mana di dalamnya mengatur hak istimewa masyarakat asli. Misalnya, hak untuk menjual pinang dan sagu hanya diberikan kepada masyarakat asli atau membangun pasar sentral yang layak bagi pedagang asli Papua.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apakah IPTEK itu selalu sejalan dengan iman kita.?

F I L S A F A T T E K N O L O G

The Culture of the Papuans in Transition (The Threat Posed by Modernization-Javanization and Discrimination)